“Baju Baru Kaisar” dalam Pendidikan Profesi Kesehatan

Di makalah mereka, yang berjudul “The emperor’s new clothes: the OSCE reassessed”, Mavis dkk. (1996) mengibaratkan OSCE seperti “baju baru kaisar” dari cerita anak-anak Hans Christian Andersen. Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan gagasan keliru yang seolah-olah masuk akal (logical fallacy) yang diterima banyak pihak karena ketidaktahuan (pluralistic ignorance) atau yang diterima orang-orang berkepentingan pribadi karena takut dianggap tidak layak menduduki jabatannya, tidak memahami inovasi atau tidak mengikuti mode. OSCE terutama keliru jika digunakan sebagai satu-satunya cara untuk penilaian sumatif (ujian akhir, ujian sertifikasi) kompetensi-kompetensi minimal. Penilaian penguasaan kompetensi inti sebaiknya didasarkan atas pengamatan langsung perilaku mahasiswa (= gabungan berbagai kemampuan kognitif, motorik dan afektif) ketika berinteraksi dengan pasien/masyarakat dan pemeriksaan hasil interaksi (catatan, keputusan penatalaksanaan). Alih-alih mengikuti fashion/trend, atau tekanan dari badan akreditasi/pengujian dan perguruan tinggi yang “lebih maju”, sebaiknya masing-masing perguruan tinggi mengembangkan cara-cara menilai kemampuan mahasiswa yang lebih sesuai dengan cita-cita organisasi, kemampuan sumber-daya, kurikulum pendidikan secara keseluruhan dan minat mahasiswa.

Dalam pendidikan profesi kesehatan ada beberapa “baju baru kaisar” lain, seperti PBL, Skills Lab, Seven Jump, dsb., yang sebaiknya tidak diikuti begitu saja. Seperti dalam kisah Andersen, kaisar dan para pembesar serta khalayak ramai (pemerintah, organisasi profesi dan dunia akademik) ditipu oleh dua penenun palsu (para ahli pendidikan yang tidak menelaah dan meneliti secara seksama bukti-bukti daya-guna, hasil-guna dan tepat-guna dari kiat-kiat pengajaran). Ketika sang kaisar berpawai memamerkan baju barunya di tengah kerumunan yang mengelu-elukan tiba-tiba ada anak kecil yang berteriak “ibu…, kaisar telanjang!”. Seperti anak yang polos,  staf Bagian Pendidikan dari masing-masing perguruan tinggi (yang bebas dari berbagai tekanan dan kepentingan diri sendiri) sebaiknya memberikan saran-saran yang valid kepada pimpinan perguruan tinggi. Ahli-ahli pendidikan di tingkat pusat dan regional (sebagai konsultan, penasehat, pembisik) sebaiknya memberikan masukan yang rasional kepada para pembuat kebijakan.

Untuk menutupi “ketelanjangan”, seandainya suatu “baju baru” ternyata tidak memenuhi harapan, sebaiknya masing-masing perguruan tinggi tetap memakai “baju dalam” yang tidak mungkin gagal (foolproof), yaitu dosen dengan social congruence (perhatian pribadi kepada mahasiswa), subject matter expertise (keahlian di suatu bidang ilmu) dan cognitive congruence (kemampuan menyatakan diri dengan “bahasa” yang dimengerti mahasiswa) yang tinggi. PBL justru menghalangi dosen-dosen muda menjadi ahli di bidang minatnya karena sudah nyaman menjadi fasilitator kelompok tutorial. Untuk menjadi fasilitator yang bermanfaat bagi mahasiswa dibutuhkan cognitive congruence yang tinggi, yang dapat dicapai jika dosen yang bersangkutan mempunyai subject matter expertise yang tinggi. (Rotgans & Schmidt, 2011; Epstein, 2004)

Rujukan:

Campbell, J.K., & Johnson, C. (1999). Trend spotting: fashions in medical education. British Medical Journal, 313, 1272-1275.

Epstein, R.J. (2004). Learning from the problems of problem-based learning. BMC Medical Education 4, 1

Mavis, B.E., Henry, R.C., Ogle, K.S., & Hoppe, R.B. (1996). The emperor’s new clothes: the OSCE reassessed. Academic Medicine, 71, 447-453.

Rotgans, J.I., & Schmidt, H.G. (2011). The role of teachers in facilitating situational interest in an active-learning classroom. Teaching and Teacher Education, 27, 37-42.

Wikipedia. The emperor’s new clothes. Diunduh 10 Otkober 2013 dari http://en.wikipedia.org/wiki/The_Emperor%27s_New_Clothes

 

Pertanyaan Dr Arsita (21 Oktober 2013):

1. Apakah tulisan tersebut mencerminkan kritik dan ketidaksetujuan terhadap model student assessment saat ini?
2. Adopsi analogi ‘baju kaisar’ tersebut menggambarkan fakta riil actor, peran dan lingkungan apa? Apakah pakar [pendidikan] kedokteran adalah anak yang melihat kaisar telanjang? Atau justru kaisar yang merasa pakai jubah ternyata telanjang.

Jawaban:

1. Secara umum kritik ditujukan kepada penerapan suatu inovasi pendidikan oleh para pembuat keputusan di tingkat pusat dan lokal tanpa mempertimbangkan efikasi, efektivitas dan efisiensi dari inovasi tersebut.

Kritik khusus tentang OSCE:

OSCE memang praktis karena dapat digunakan untuk menguji kompetensi klinik mahasiswa/praktisi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat. Namun OSCE tidak dapat menggantikan ujian kompetensi yang menggunakan pasien sesungguhnya dalam hal mengolah dan menafsirkan data dari begitu banyak variabel pasien, pathogen dan lingkungan. Keadaan multivariat ini dapat disimulasi dengan teknologi simulasi pintar. Karena teknologi ini belum kita miliki, kita sebaiknya menggunakan pengamatan langsung interaksi mahasiswa/praktisi dan pasien pada tahap mengumpulkan data (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Lab) dan tahap memberikan tindakan (terapi bedah/farmakologik dan menyuluh/merujuk). Untuk menguji secara valid tahap mengolah dan menafsirkan data (untuk Upaya Kesehatan Perorangan dan Upaya Kesehatan Masyarakat) kita dapat menggunakan ujian kompetensi virtual, yang dapat diadministrasi secara sentral dari pusat oleh KKI. OSCE kurang valid untuk menguji kompetensi UKP dan UKM karena menggunakan simulasi sederhana, yang hanya menilai kemampuan kognitif UKP dengan jalur algoritma tertentu dan kemampuan motorik UKP dengan bagian protap tertentu.

2. Analogi “Baju Baru Kaisar”:
Para aktor:
a. Kaisar: pembuat keputusan di tingkat pusat dan lokal (perguruan tinggi).
b. Penasehat kaisar: para konsultan, pokja-pokja, badan akreditasi/pengujian.
c. Khalayak ramai: birokrasi, organisasi profesi, academia, masyarakat.
d. Penenun palsu: ahli pendidikan yang mempunyai kepentingan pribadi dan yang tidak (mampu) memberi saran yang valid.
e. Anak kecil: ahli pendidikan yang tidak mempunyai kepentingan pribadi dan yang mampu memberi saran yang valid.

Pemeran a, b & c menerima gagasan inovasi dari d karena “takut” dianggap tidak memahami inovasi atau karena “tekanan” dari badan akreditasi/pengujian atau organisasi profesi.

Sebaiknya badan akreditasi/pengujian dan organisasi profesi menilai perguruan tinggi (PT) tidak berdasarkan apakah PT yang bersangkutan telah mengadopsi suatu inovasi pendidikan melainkan berdasarkan apakah PT tsb mengadakan LitBang dan DikLat inovasi pendidikan. Karena inovasi pendidikan di masing-masing PT menghadapi resiko gagal atau terhambat ada baiknya jika mereka memakai “Baju Dalam” yang handal, yaitu guru-guru yang ahli di bidang ilmunya, memperhatikan kepentingan mahasiswa dan mampu mengarahkan mahasiswa.

Tanggapan dari Dr Ova Emilia (18 Oktober 2013):

Saya merasakan dan berpendapat bahwa orang (termasuk dosen yang kaum cerdik pandai) terjebak pada polesan luar, label tanpa memahami apa makna di balik nya. Contoh tentang OSCE, yang dipopulerkan tahun 1980an itu bak sebuah obat dari segala obat yang bisa dipercaya untuk mengatasi kompetensi. Padahal kita harus kembalikan pada sebab musabab kenapa ahli pendidikan menggagas OSCE? Tentunya suatu gagasan dirancang untuk menjawab suatu masalah bukan semua masalah.

Kejadian lain adalah tentang PBL yang juga nasibnya sama. Hingga seolah-olah dengan memberi label kurikulumnya PBL adalah jaminan bahwa pendidikannya bagus, kompetensi bisa dicapai dengan baik.
Diharapkan orang yang ahli dalam pendidikan kedokteran bersikap obyektif secara keilmuan. Berpegang teguh pada evidence yang valid dan tidak mudah terjebak pada label dan polesan luar saja. Tentunya sikap tersebut hanya bisa dijaga bila kita rajin meng update dari literatur penelitian mutakhir. Saya pribadi bersyukur telah dikenalkan sejak awal jadi dokter tentang “critical appraisal” studi studi. Dan tetap belajar sampai sekarang…..

Tanggapan dari Dr Titi Savitri (15 Oktober 2013):

In my opinion, ide bagus, tetapi it might be a bit difficult to understand bagi banyak pihak. Pesan yang ingin disampaikan memang ‘disembunyikan’ lewat bahasa ‘perumpaan’.

Memang penelitian Henk Schmidt menyebutkan bahwa cognitive congruence dan social congruence berpengaruh terhadap keberhasilan mahasiswa dalam belajar.

Memang untuk menguji kompetensi yang terbaik adalah pengamatan yang dilakukan selama magang (internship) ketika mahasiswa menerapkan semua domain secara terintegrasi ketika berhadapan dengan pasien.

Uji kompetensi banyak faktor politis, dibanding akademis.

Meningkatkan Program EMAS

Program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) adalah program kerja sama USAID dan Kementerian Kesehatan RI untuk membantu pemerintah Indonesia menurunkan AKI dan AKB. Program ini akan diterapkan di 30 kabupaten dari enam provinsi yang mempunyai AKI dan AKB yang tertinggi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan).  Berdasarkan keterangan yang dapat dibaca di situs jejaring program ini (http://www.selamatkanibudanbayi.org/) dapat disimpulkan bahwa program ini diarahkan ke upaya pencegahan tersier (= pencegahan kematian) dari penyakit-penyakit penyebab kematian ibu dan bayi. Melalui program lima tahun ini (2012-2016) diharapkan angka-angka kematian tersebut dapat diturunkan sebanyak 25% melalui perbaikan penatalaksanaan kasus gawat darurat obstetri dan neonatal di RS pemerintah/swasta dan Puskesmas/balai pengobatan, perbaikan sistem rujukan dan pemanfaatan teknologi informasi. Alasan untuk memusatkan perhatian pada pencegahan tersier ialah karena 40- 60% kematian ibu terjadi di RS. Alasan ini sebenarnya puncak dari gunung es masalah KIA. Penurunan AKI dan AKB yang lebih cepat memerlukan pendekatan komprehensif.

Program ini akan lebih bermanfaat jika pemerintahan daerah kabupaten/kota dibantu melakukan upaya pencegahan tersier (P3), sekunder (P2), primer (P1), dan  primordial (P0) penyakit-penyakit prioritas penyebab kematian ibu (pendarahan, toxemia, infeksi, dan partus lama) dan bayi (BBLR, asphyxia, dan infeksi). Karena faktor-faktor resiko penyakit-penyakit tersebut sama  dan harus ditangani secara lintas-sektor, Bupati/Wali Kota dan kepala-kepala dinas terkait sebaiknya secara langsung memimpin tanggap cepat (untuk saat kejadian) dan tanggap terencana (untuk tahun anggaran berikut) yang didasarkan atas hasil surveilens kasus-kasus P1 (WUS Resiko Tinggi) dan P0 (lingkungan beresiko). Surveilens kasus-kasus P1 oleh petugas kesehatan dan juru surveilens desa/kelurahan akan mendeteksi WUS yang rentan (e.g., TB < 140cm, usia < 20tahun, mempunyai anak > 2, melahirkan < 2tahun yang lalu, usia > 35tahun, status gizi buruk, menderita penyakit menahun, riwayat imunisasi buruk) dan WUS yang terpapar terhadap lingkungan (keluarga, komunitas) yang tidak menguntungkan. Petugas sektor terkait dan juru surveilens desa/kelurahan akan mendeteksi lingkungan biologis (e.g., orang-orang kontak dengan penyakit-penyakit TB, PMS, DM atau vektor penyakit malaria), lingkungan fisik (tempat tinggal/kerja/sekolah tidak memenuhi syarat) dan lingkungan sosial (gaya hidup beresiko, pendapatan rendah, putus/tidak sekolah, KAP rendah, menganggur). Berdasarkan data surveilens ini pemerintahan daerah membuat kebijakan, mengerahkan sumberdaya, dan memberikan bimbingan teknis/ supervisi untuk pembangunan daerah yang terarah ke pengendalian penyakit-penyakit prioritas penyebab AKI dan AKB tinggi. Untuk kegiatan P1 dan P0 ini diperlukan pelatihan manajemen dan intervensi perubahan perilaku (supaya mempunyai sense of urgency, supaya mau bekerjasama lintas sektor) bagi para manajer pemerintahan daerah.  Para petugas surveilans dinas-dinas terkait dan juru surveilans desa/kelurahan perlu dilatih mendeteksi WUS Resiko Tinggi dan lingkungan biologis, fisik dan sosial yang merugikan.

Selain mencegah kematian ibu dan bayi akibat penyakit-penyakit prioritas melalui peningkatan penatalaksanaan kasus, perujukan dan sistem informasi di RS dan Puskesmas/balai pengobatan, dinas-dinas kesehatan dari kabupaten/kota dengan AKI dan AKB tinggi sebaiknya juga memusatkan perhatian kepada pelayanan ante-natal di RS dan Puskesmas/balai pengobatan. Deteksi dini kasus-kasus sub-klinis (e.g., IUGR, anemia, gizi buruk, penyakit-penyakit infeksi, DM, kelainan kehamilan) dan tindakan dini (e.g., makanan tambahan, mikronutrien, pengobatan penyakit-penyakit infeksi/DM, penyuluhan) perlu ditingkatkan di sarana-sarana pelayanan kesehatan tersebut. Untuk kegiatan-kegiatan P3 dan P2 ini diperlukan pelatihan surveilens-tanggap bagi para kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan kepala seksi/staf terkait. Para kepala RS dan Puskesmas/balai pengobatan perlu dilatih melakukan audit klinik dan mengadakan tindakan koreksi berdasarkan data audit untuk memperbaiki diagnosis dan tindakan kasus klinis dan sub-klinis penyakit-penyakit prioritas penyebab AKI dan AKB tinggi.

Tanggapan terhadap tulisan “Menurunkan AKI & AKB”

Dr Budiono Santoso (bs2751950@gmail.com), 3 Oktober 2013:

Masalah ini pelik memang, tetapi negara2 seperti Viet Nam dan Mongolia bisa menurunkan AKI & AKA, mengapa penurunan di Indonesia begitu lambat. Pendekatan sistem memang nampak lemah di Indonesia untuk memutus rantai faktor resiko

Dr Kristiani Indarto (kristiani50@yahoo.co.id), 6 Okotober 2013:

Pada dasarnya, artikel tersebut cukup bagus karena ada warna lain/ide lain dalam memberikan solusi untuk menurunkan AKI dan AKB. Namun, ada beberapa hal yang mungkin perlu dipikirkan. Pertama, ide tersebut mungkin bisa dijalankan di Jawa. Tetapi, untuk masyarakat di luar Jawa hal tersebut mungkin sulit dilakukan karena terkendala kondisi geografis/medan yang sulit dijangkau, juga kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang kurang mendukung (misalnya: di daerah tersebut belum tentu tersedia ojek atau koperasi sehingga ide tersebut tidak mudah dilaksanakan).

Kedua, perlu dipikirkan pula latar belakang sosial budaya dan persepsi masyarakat mengenai konsep pernikahan, khususnya bagi anak-anak perempuan mereka. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa anak-anak perempuan mereka perlu segera dinikahkan. Kalau tidak, anak-anak perempuan tersebut dianggap “tidak laku”, menjadi “perawan tua”, atau “sulit jodoh”. Selain itu, ada pula pemikiran bahwa pernikahan anak-anak perempuan tersebut merupakan wujud dari tuntasnya tanggung jawab orang tua.

Untuk itu, selain upaya-upaya yang diusulkan oleh Pak Rossi (subsidi Pemda untuk koperasi ojek untuk antar-jemput siswa ke sekolah dan koperasi ibu-ibu untuk peningkatan gizi anak-anak), perlu dipikirkan juga upaya-upaya lain yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat dan persepsi masyarakat yang keliru mengenai pernikahan dini anak-anak mereka. Sebetulnya, penyuluhan-penyuluhan untuk menunda pernikahan sudah banyak dilakukan. Namun, untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat memang tidaklah mudah. Untuk itu, segala upaya tersebut perlu didukung dengan penertiban UU Perkawinan oleh Kepala Desa, aparat pemerintah desa, dan KUA yang diperkuat dengan komitmen untuk aktif mengambil bagian dalam mencegah pernikahan dini dengan cara tidak meloloskan permohonan pernikahan usia muda yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan.

Perlu dipikirkan pula peningkatan Kejar Paket B dan pelatihan keterampilan/wirausaha bagi anak-anak putus sekolah guna meningkatkan kesejahteraan mereka dan menunda pernikahan di usia yang terlalu muda.

————————————————————————————–

“Menurunkan AKI & AKB” (14 Oktober 2009):

Di suatu desa di lereng Gunung Sumbing ada sebuah sekolah dasar yang mempunyai 22 murid yang duduk di Kelas 6. Semuanya, 12 perempuan (55%) dan 10 laki-laki (45%), lulus ujian akhir. Hanya enam (27%) dari antara mereka, dua perempuan (9%) dan empat laki-laki (18%), yang sanggup meneruskan ke sekolah menengah. Alasan utamanya adalah biaya yang mahal untuk mencapai SMP yang terdekat – mereka harus mengeluarkan Rp20 ribu per hari untuk naik ojek. Apa yang kemudian terjadi pada 16 anak yang tidak melanjutkan sekolah? Pada usia berapa 10 anak perempuan yang tidak melanjutkan sekolah, yang pada saat lulus rata-rata berumur 12 tahun, kawin dan hamil? Berapa dari antara mereka yang mengalami persalinan normal? Berapa dari antara bayi-bayi mereka yang lahir dengan berat badan normal?

Departemen Kesehatan mengharap dapat mencapai target AKI 125 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 15 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010 melalui program-program peningkatan pelayanan kesehatan, seperti Bidan di Desa dan MPS (Make Pregnancy Saver). Namun DepKes juga sadar bahwa ”AKI dan AKB di Indonesia itu beragam, ada kabupaten yang sudah bagus tetapi juga ada yang masih jauh dari harapan tergantung dengan kondisi geografisnya, tingkat kemiskinannya, daerah konflik dan sebagainya. Dengan sendirinya di daerah yang sulit seperti Papua, NTT, maka AKI dan AKB-nya masih tinggi. Demikian pula di Jawa, ada daerah-daerah kantong yang AKB dan AKI-nya masih tinggi.” (Diunduh tanggal 14 Oktober dari http://www.depkes.go.id/)

Untuk menurunkan AKI dan AKB, terutama di daerah-daerah yang sulit/kantong, diperlukan upaya pencegahan yang lebih dini. Pemerintahan-pemerintahan daerah harus merancang program-program yang meningkatkan partisipasi pendidikan di sekolah dasar dan menengah untuk menunda anak-anak masuk ke pasaran kerja dan kehidupan berkeluarga. Peraturan wajib sekolah dan bebas uang sekolah tidak cukup jika keluarga-keluarga kurang mampu tidak sanggup menghadirkan anak-anak mereka secara fisik dan mental di sekolah-sekolah. Ada dua program yang perlu ditambahkan, yang akan mempunyai pengaruh jangka panjang pada kesehatan ibu dan anak, yaitu Program Bis/Angkutan Umum Sekolah dan Program Kantin Sekolah.

Program Bis Sekolah mungkin sulit dilaksanakan di daerah pegunungan seperti  di lereng Gunung Sumbing. PemDa dapat memberikan subsidi dan pelatihan kepada kooperasi ojek untuk mengantar pulang dan pergi murid-murid ke sekolah. PemDa juga dapat memberikan subsidi dan pelatihan kepada kooperasi ibu-ibu untuk menyediakan makanan bergizi bagi murid-murid di sekolah.

Berita-berita di media masa tentang penutupan atau penggabungan beberapa sekolah dasar mungkin bukan karena jumlah penduduk usia sekolah dasar makin berkurang, tetapi karena tingkat partisipasinya yang makin berkurang. Yang diharapkan ialah pengurangan jumlah penduduk (Program KB dan Penyuluhan Kesehatan Reproduksi digairahkan!) dan peningkatan partisipasi pendidikan.