Pialang Pengetahuan (Knowledge Broker)

Pemerintahan kabupaten/kota yang mengetahui bahwa stroke, penyakit jantung iskemik dan diabetes melitus merupakan penyebab kematian tertinggi (dan terus meningkat) di Indonesia, dan bahwa penyakit-penyakit tersebut merupakan beban tertinggi (dalam hal jumlah tahun hidup hilang akibat kematian lebih awal dan jumlah tahun hidup sehat hilang akibat cacat), dapat memanfaatkan jasa dari Pialang Pengetahuan (PP) untuk memperoleh masukan mengenai program-program yang dapat mengurangi kematian dan kecacatan akibat penyakit-penyakit tersebut. PP adalah orang atau organisasi yang menjadi perantara antara pengguna pengetahuan (pembuat keputusan, perencana dan pelaksana) dan penghasil pengetahuan (peneliti efikasi intervensi dan evaluator efektivitas program). Pengetahuan ini diperoleh dari makalah/laporan systematic review (telaah pustaka intensif) dan scoping review (telaah pustaka extensif) yang terkini dan penelitian/evaluasi empirik yang lebih terkini. PP kemudian menerjemahkan pengetahuan ini (knowledge translation), atau mengemasnya (knowledge packaging), menjadi informasi yang lebih operasional bagi pengguna dan menyediakan informasi ini (knowledge diffusion) di situs jejaring elektronik atau menyebarluaskannya (knowledge dissemination) melalui pemberdayaan pemerintahan daerah.

Pemerintahan Kota Yogyakarta pernah melaksanakan Gerakan “Segosegawe” (menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah dan bekerja). Intervensi dalam gerakan ini efikasius sebagai pencegahan primer (i.e., untuk mengurangi kasus Resiko Tinggi) Penyakit Kardio Vaskuler (PKV) dan Diabetes Melitus (DM), namun karena dikelola secara tidak efektif (hasilguna) program ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Melalui diseminasi pengetahuan PP tidak hanya menyediakan pengetahuan tentang intervensi-intervensi yang efikasius untuk semua tahap pencegahan PKV dan DM (i.e., pencegahan dasar s/d rehabilitasi) tetapi secara proaktif mendampingi pemerintahan daerah dan unit-unit pelaksana teknisnya dalam pengelolaan program.

Tingkat efektivitas program dapat dilihat dari:
1. Output program: (a) persen kasus yang dicakup oleh upaya pencegahan primer s/d rehabilitasi; (b) persen kelompok penduduk (menurut ras/etnik, SoSek, geografis & gender) yang dicakup upaya pencegahan dasar dan pencegahan primer (untuk menghilangkan/mengurangi keterpaparan dan kerentanan); dan, (c) persen sarana pelayanan kesehatan yang dicakup oleh tanggap cepat dan tanggap terencana pemerintahan daerah.
2. Oucome program: Distribusi (menurut tempat, waktu dan kelompok penduduk) dan Angka-angka (rates) kasus resiko tinggi, kasus sub-klinis dan kasus klinis PKV dan DM.
Tanggap cepat dapat berupa (re-)alokasi sumberdaya, bimbingan teknis/ supervisi, dan koordinasi intra- & inter-sektoral. Tanggap terencana, yang dimasukkan dalam anggaran tahun berikut, dapat berupa alokasi sumberdaya, bimbingan teknis, advokasi dan kebijakan.

Dari kesimpulan systematic review dan scoping review PP juga dapat memberi masukan kepada peneliti efikasi intervensi tentang perbaikan dalam kerangka konsep dan rancangan penelitian. Sebagai contoh, systematic review tentang manfaat bersepeda, penulis-penulisnya menyimpulkan “Sesuai dengan kriteria standard yang digunakan untuk penelitian-penelitian klinik, ditemukan bukti kuat manfaat [bersepeda] untuk kebugaran, bukti sedang untuk faktor-faktor resiko kardiovaskuler, dan bukti belum pasti untuk kematian pada umumnya, kesakitan dan kematian akibat penyakit jantung koroner, resiko kanker, dan kelebihan berat badan dan obesitas”. Karena laporan ini terbit beberapa tahun yang lalu, PP perlu melacak dan menelaah penelitian empirik yang terbit setelah makalah terakhir yang mereka review dan menyarankan kepada peneliti-peneliti lain untuk mereplikasi penelitian tersebut dengan kerangka konsep dan rancangan penelitian yang lebih baik. Berdasarkan temuan evaluasi efektivitas program, PP dapat memberi masukan kepada peneliti-peneliti efikasi intervensi tentang moderator-moderator (i.e., ciri-ciri dan keadaan unit analisis) yang dapat menguatkan korelasi intervensi dan hasil intervensi.

Mengingat cakupan pengetahuan yang luas dan intensitas peran yang dalam ada banyak kompetensi yang sebaiknya dikuasai PP. Selain mampu mendifusi dan mendiseminasi pengetahuan, PP sebaiknya juga mampu menganalisis masalah dan membuat keputusan berdasarkan data surveilans kesehatan (dan, kalau perlu, memperkuat sistem surveilans-respons kesehatan), serta memahami koordinasi lintas sektor dan lintas unit pelaksana teknis.

Rujukan:

Armstrong, R., Waters, E., Dobbins, M., Anderson, L., Moore, L., Petticrew, M., … & Swinburn, B. (2013). Knowledge translation strategies to improve the use of evidence in public health decision making in local government: intervention design and implementation plan. Implementation Science, 8(1), 121.

Lomas, J. (2007). The in-between world of knowledge brokering. BMJ: British Medical Journal, 129-132.

Oja,P., Titze,S., Bauman,A., de,Geus B., Krenn,P., Reger-Nash,B., & Kohlberger,T. (2011). Health benefits of cycling: A systematic review. Scandinavian Journal of Medicine and Science in Sports, 21(4), 496-509.

Robeson, P., Dobbins, M., & DeCorby, K. (2008). Life as a knowledge broker in public health. Journal of the Canadian Health Libraries Association/Journal de l’Association des bibliothèques de la santé du Canada, 29(3), 79-82.

Roxborough, L., Rivard, L., & Russell, D. (2009). Knowledge Brokering in Health Care. CanChild Centre for Childhood Disability Research. Diunduh 1 Juli 2015 dari: http://www.canchild.ca/en/canchildresources/knowledgebrokering.asp)

Weiner, J.P. (2008). Health Policy and the Delivery of Health Care. Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Diunduh 5 Juli 2015 dari:

WHO. Indonesia: WHO Statistical Profile. Diunduh 5 Juli 2015 dari: http://www.who.int/countries/idn/en/

Zudianto, H. Segosegawe. Diunduh 8 Juli 2015 dari: http://www.jogjakota.go.id/app/modules/upload/files/artikel segosegawe.pdf.

    Tanggapan dari Putu Andayani:
    Dari tulisan tersebut, saya ingin bertanya, apakah ini berarti PP hanya bisa hidup di area dimana ada awareness dari Policy Makers mengenai manfaat pengetahuan dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan? Apakah ada peluang untuk meningkatkan awareness ini di kalangan pejabat yang belum berorientasi pada pengetahuan dan bukti empirik? Dari kasus yang diangkat, yaitu “sego segawe”, terlihat bahwa tampaknya pergantian kepemimpinan daerah juga turut berperan dalam kontinuitas atau diskontinuitas suatu program, meskipun program tersebut sudah memiliki bukti empirik yang cukup banyak. Apakah ada perubahan peran/intensitas advokasi PP dalam hal ini yang ikut mempengaruhi?

    Jawaban:
    Jasa PP perlu ditawarkan (disosialisasi). Melalui KSI 2015/2016 PP akan diujicoba dulu di Kulonprogo dan Bantul sebelum ditawarkan ke PemDa yang lain. Yang dibuktikan penelitian empirik dengan rancangan experiment murni adalah dayaguna (efficacy) intervensi (e.g., bersepeda, berjalan kaki, berenang). Namun, ketika diterapkan di masyarakat ciri-ciri dan keadaan dari subyek-subyek (pegawai dan murid sekolah) tidak dapat dikendalikan seperti pada RCT (randomized controlled trial). Infrastructure (e.g., penitipan/ penyediaan sepeda di shelter Transjogja/terminal angkutan umum kabupaten/stasiun kereta api, lajur dan tanda lalulintas khusus pesepeda/pejalankaki, kebijakan pembatasan penjualan/kepemilikan/penggunaan sepeda motor/mobil, sarana olahraga umum dan di perusahaan/instansi) harus ditata dan SDM (e.g., kepala instansi, pemimpin perusahaan, guru, orangtua, polisi) harus dipimpin dengan cara yang hasilguna (effective) dan hematguna (efficient). Walikota penggagas Segosegawe mempunyai kesempatan yang cukup lama (dua periode) untuk melembagakan program tersebut.

    Tanggapan dari Andre Meliala:

    Pada kasus “segosegawe”, sudah dituliskan ada masalah “ketidakefektifan” pengelolaan program ini, sehingga hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Isu “ketidakefektifan” ini yang menarik untuk dibahas oleh eksekutif (dari sisi implementasi) dan oleh peneliti (dari sisi konsep).

    Peran PP atau PLKB (personel to liase or knowledge broker) selain menjadi jembatan untuk membantu proses knowledge translation (kepada pihak eksekutif) dan knowledge packaging (bersama peneliti), agar intervensi yang disarankan dapat masuk akal (akal eksekutif) dan tidak melenceng (dari keinginan dan standar normatif peneliti). “Tidak efektif” menurut peneliti karena eksekusi program tidak sesuai dengan kerangka teori yang mendasari program tersebut. “Tidak efektif ” menurut eksekutif karena banyak komponen dalam lingkungan yang sebenarnya eksis, tetapi tidak masuk dalam perhitungan kerangka kerja peneliti. Peran PP atau PLKB adalah sebagai jembatan untuk mengatasi masalah tersebut.

    Selain itu, peran lain adalah mengisi gap yang mungkin terjadi pada saat pengembangan konsep (bersama peneliti), dengan memberi masukan jika ada “blindspot” pada kerangka kerja yang diusulkan. Juga membantu mengisi gap yang mungkin terjadi pada saat penyusunan rencana eksekusi (bersama eksekutif), misalnya yang berhubungan dengan biaya.